Thursday, 21 April 2016

Kajian Islam: Manajemen Marah dan Sabar


Manajemen marah dan sabar
Marah dan sabar selalu menjadi kontradiksi sikap manusia.
Marah adalah tabiat manusia.
Allah menciptakan marah karena untuk keperluan manfaat yang besar. Yaitu melindungi diri manusia dari sesuatu yang akan memberinya madharat kepada dirinya.
 Marah merupakan ungkapan tentang mendidihnya darah dalam hati seseorang.
 Marah dalam syariat kita tidak diberikan celaan secara mutlak tetapi juga tidak diperintahkan, bahkan yang ada adalah larangan-larangan agar kita marah.
Di antara hadits yang menyebutkan akan larangan marah, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda yang ketika itu ada seorang lelaki meminta wasiat kepada beliau: يا رسولَ الله أوصني  (wahai Rasulullah berikan aku wasiat) kata Rasulullah لا تغضب  ( jangan kamu marah), jangan kamu marah dan ia terus mengulangi lagi, ia berkata lagi jangan marah, jangan marah.
Akan tetapi Rasulullah صلى الله عليه وسلم  pernah marah, marahnya karena Allah. Bukan karena hawa nafsu .
Oleh karena itu para ulama mengatakan: bahwa marah itu ada 2 macam, ada marah yang terpuji dan ada marah yang tercela.
Adapun marah yang tercela yaitu seseorang marah bukan karena Allah, karena membela kepentingannya, karena dunia, karena fanatik kelompok, maka ini adalah marah-marah yang dibenci oleh Allah سبحانه وتعالى .
 Oleh karena itulah, ketika seseorang marah karena dirinya, marah karena membela dirinya, maka itu adalah marah yang tercela.
Dan ini yang dikatakan Aisyah رضي الله عنها   bahwa Rasul صلى الله عليه وسلم   tidak pernah marah untuk dirinya. Akan tetapi apa bila larangan-larangan Allah dilanggar, maka beliaupun marah.
Marah karena dunia kenapa tercela? Karena hal seperti itu hanya akan menimbulkan mudharat kepada dirinya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: من كف غضبه ستر الله عوراته   (Barang siapa yang menahan marahnya maka allah akan menutupi auratnya) kenapa demikian? Karena sesorang apabila marah sering kali tidak terkontrol lalu mengucapkan kata-kata yang tidak layak karena emosinya. Dia melakukan perbuatan yang tidak layak bagi orang yang berakal, bagi orang yang punya kewibawaan sehingga itu bisa menjatuhkan harkatnya, menjatuhkan martabatnya. Maka Rasulullah bersabda ... ...ومن كظم غيظا وهو قادر على أن ينفد إن شاء الله فملآ الله قلبه رضا يوم القيامة  (dan siapa yang menahan amarahnya di mana ia mampu untuk melaksanakan amarahnya tersebut maka Allah akan penuhi hatinya dengan keridhaan kelak pada hari kiamat).
Maka dari itu seseorang penting untuk memanaje kemarahannya. Jangan sampai kemarahan itu menimbulkan penyesalan di dalam hatinya kelak. Ada seorang suami marah, akhirnya dia mencerai istrinya. Ada seseorang marah akhirnya membanting piring dan yang lainnya. Ada seseorang marah akhirnya tidak sadarkan diri, akhirnya melakukan hal-hal yang merugikan dirinya. Maka dari itulah Islam memerintahkan kita untuk menahan amarah, karena kemarahan tidak ada kebaikannya ketika marah itu adalah sesuatu yang bukan karena Allah tetapi karena dunia.
Adapun yang kedua, yaitu marah karena Allah. Marah karena Allah sesuatu yang baik, tapi ingat caranya pun harus sesuai dengan syariat. Apa itu marah karena Allah? Seseorang marah karena larangan-larangan Allah dilanggar. Seseorang marah karena batasan-batasan Allah tidak dihormati. Maka yang seperti ini ikhwatul islam a’azzaniyallah kemarahan yang baik. Sebagaimana Rasul صلى الله عليه وسلم  pernah suatu hari dilaporkan kepada Rasulullah: seorang laki-laki yang berkata " يا رسولَ الله إني لآتأخّرمن الفجر مما يطيل بنا الفلان  ( Ya Rasulullah sesungguhnya aku terlambat dari shalat shubuh karena imamnya terlalu panjang membaca ) maka Ibnu Umar berkata “aku tidak pernah melihat Rasulullah صلى الله عليه وسلم  sangat marah kecuali pada hari itu. Rasul bersabda "إن منكم منفّرين"  (sesungguhnya di antara kalian ada yang membuat orang lari). Subhaanallaah, Rasulullah marah. Kenapa? Karena ini berbahaya. Ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم melewati  suatu kaum yang menggantungkan pedangnya di sebuah pohon yang menjadi tempat kalap berkah lalu ada orang berkata “wahai Rasulullah jadikan untuk kami tempat dzatu anwar sebagaimana mereka punya tempat dzatu anwar” maka Rasulullah marah dan berkata “ الله أكبر إنها سنني”  ( Allahu akbar, ini adalah sunah) kalian telah mengucapkan apa yang telah diucapkan oleh Bani Israil kepada Musa. Subhaanallaah ya akhowatil islam.
Tapi terkadang seseorang  niat marahnya karena Allah, namun tata caranya akhirnya malah mengundang kemurkaan dari Allah. Sebagaimana disebutkandalam riwayat  Imam Ahmad: bahwa kata Rasulullah dahulu ada dua orang yang berteman, yang satu shalih dan yang satu suka berbuat maksiat. Satu hari temannya melihat orang yang berbuat maksiat maka ia memberikan nasihat kepadanya. Kemudian keesokan harinya kembali temannya menemunkan temannya berbuat maksiat, ia pun memberikan nasihat. Kemudian apa yang terjadi, ketiga kalinya, dia melihat temannya berbuat maksiat makanya ia pun memberikan nasihat kemudian dia marah, marah sekali. Apa kata dia? "واللهِ, لايغفر الله لك"  (demi Allah, Allah tidak akan mengampuni dosa kamu). Sampai begitu marahnya. Maka apa kata Rasulullah صلى الله عليه وسلم “Allah pun murka dan Allah berfirman:من ذاالذي يتعلّى عليّ عني لا أغفر لكم اشهدوا وأحبط عمل فلان  (siapa yang berani bersumpah atas namaKu bahwa Aku tidak akan mengampuni dosa si fulan? Saksikan wahai para malaikat bahwa aku telah mengampuni dosa orang yang berbuat maksiat tadi dan aku telah membatalkan amalan orang shalih tadi). Lihat orang shalih ini marahnya karena Allah, tapi sayang caranya malah mendatangkan kemurkaan Allah. Ketika kita melihat kemunkaran kita marah, tapi terkadang kita malah membuat orang lain semakin lari, atau membantu syaithan untuk menyesatkan manusia lebih jauh lagi. Maka ya akhal Islam a’azzaniyallahu wa iyyakum, di sini kita penting untuk memanaje kemarahan kita. Jangan sampai kemarahan itu walaupun karena Allah tapi ternyata malah mendatangkan kemurkaan dari Allah subhanahu wata’ala. Apa lagi marah-marah yang tercela karena dunia, karena membela diri, jelas ini sesuatu yang tercela sekali. Karena dirinya diejek, karena organisasi atau partainya direndahkan, dihina. Ini sesuatu yang tidak disukai dalam syariat Islam. Maka kata Rasulullah لا تغضب  (jangan marah), kata Rasulullah: "ليس الشديد بالصرعة إنما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب"  (Bukanlah orang yang kuat itu adalah orang yang bias mengalahkan orang lain, tetapi orang yang bias menahan nafsunya ketika marah). Semoga kita termasuk diberikanoleh Allah kekuatan untuk menahan amarah kita sehingga kita termasuk orang-orang yang diridhai oleh Allah سبجانه وتعلى  bahkan  dipenuhi  keridhaan hati kita kelak di yaumil akhir.

Kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Apa benar kesabaran itu ada batasnya? Tentu ini menjadi sebuah tanda tanya besar. Allah subhaanahu wata’ala dalam alQuran memerintahkan kita untuk  sabar. Dalam ayat-ayat, di antaranya Allah berfirman:
يا أيها الذين آمنوا اصبروا وصابروا ورابطوا “Hai orang-orang yang beriman bersabarlah dan berusahalah terus untuk bersabar dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. Tidak ada dalam alQuran maupun hadis Nabi صلى الله عليه وسلم bahwa Allah memberikan batasan bahwa sabar itu ada batasnya. Seringkali kita mendengar ada orang berkata “sampai kapan kita bersabar?”. Bahkan mungkin ada orang berkata kesabaran saya sudah habis dan lain-lain. Subhaanallah akhal Islam a’azzakumullaah, ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengabarkan tentang adanya pemimpin-pemimpin yang mereka itu tidak berhukum dengan hokum Allah. Mereka lebih mementingkan dirinya dari pada rakyatnya. Beliau bersabda: إنها ستكون العثرة  (sesungguhnya akan ada pemimpin-pemimpin yang lebih mementingkan dirinya dari pada rakyatnya). Dan Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, apa kata Rasulullah? "اصبروا حتى تلقوني على الحوض" (bersabarlah kamu!), sampai kapan?  (sampai kamu bertemu denganku di telaga haudl).
Di sini Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyuruh kita untuk bersabar. Sampai kapan? Apakah Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengatakan sabar itu ada batasnya? Tidak. Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengatakan bersabarlah sampai kamu bertemu denganku di telaga haudl. Berarti sabar itu ya akhal Islam, sampai akhir hayat.

Kita manusia hidup di dunia tak lepas dari yang namanya ujian dan cobaan. Setiap manusia diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala ujian dengan berbagai macam ragam-ragamnya. Ada orang yang diberikan Allah dengan ujian penderitaan, kesengsaraan. Ada orang yang diberikan Allah dengan ujian kekayaan. Masing-masing diuji kesabarannya. Orang yang menderita sakit, diuji kesabaran untuk menghadapi sakit. Begitupun orang yang menderita kesusahan, kesulitan dan kekurangan harta. Orang yang diberikan oleh Allah kekayaan, kesenangan diuji oleh Allah kesabarannya untuk menghadapi syahwat dia. Karena semakin senang, semakin banyak fasilitas, seseorang terkadang lebih mengikuti syahwatnya. Manusia diuji selama hidup dia dalam kehidupan dia. Dengan apa? Dengan perintah, dengan larangan. Allah memerintahkan kita shalat, zakat, puasa, haji. Allah melarang kita juga berzina, judi dan berbagai macam larangan. Sampai kapan? Jawabannya satu, sampai akhir hayat. Sampai kita mati. Bolehkah kita berkata “sampai kapan saya bersabar untuk melaksanakan shalat?” selama kita beriman kepada Allah, kita butuh kesabaran. Ali bin Abi Thalib berkata "الصبر في الإيمان بمنزلة الرأس في البدن" (kesabaran dengan keimanan itu sama dengan kepala untuk badan). Sebagaimana badan tidak akan hidup tanpa kepala. Demikian pula iman tak akan pernah hidup tanpa kesabaran. 

Monday, 18 April 2016

Dua Syarat Ampuh Diterimanya Ibadah


Syarat Diterimanya Ibadah
Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak benar kecuali dengan ada syarat:
1. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
2. Sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallaahu alaihi wa Salam .
Syarat pertama adalah konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illa-llah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya untuk Allah dan jauh dari syirik kepadaNya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya ta’at kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Al-Baqarah: 112)
Aslama wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahuwa muhsin (berbuat kebajikan) artinya mengikuti RasulNya Shallallaahu alaihi wa Salam.
Syaikhul Islam mengatakan: “Inti agama ada dua pokok yaitu kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan kita tidak menyembah kecuali dengan apa yang Dia syariatkan, tidak dengan bid’ah.” Sebagaimana Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman: “Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Al-Kahfi: 110)
Yang demikian adalah manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallah dan Muhammad Rasulullah. Pada yang pertama, kita tidak menyembah kecuali kepadaNya. Pada yang kedua, bahwasanya Muhammad adalah utusanNya yang menyampaikan ajaranNya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta menta’ati perintahnya. Beliau telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau mengatakan bahwa bid’ah itu sesat.
*(Al-Ubudiyah, hal. 103; ada dalam Majmu’ah Tauhid, hal. 645.)

Hukum Islam:Mengutamakan Tinggal dan Kerja di Negara Kafir


Bekerjanya seorang muslim untuk mengabdi atau melayani orang kafir adalah haram, karena hal itu berarti penguasaan orang kafir atas orang muslim serta penghinaannya. Iqamah atau bertempat tinggal terus-menerus di antara orang-orang kafir juga diharamkan.
Karena itu Allah mewajibkan hijrah dari negara kafir menuju negara muslim dan mengancam yang tidak mau berhijrah tanpa uzdur syar’i. Juga mengharamkan seorang muslim bepergian ke negara kafir kecuali karena alasan syar’i dan mampu menunjukkan ke-Islamannya, kemudian jika selesai tujuannya maka ia harus segera kembali ke negara Islam.
Adapun pekerjaan seorang muslim kepada orang kafir yang tidak bersifat melayani seperti menjahit atau membangun tembok dan lain sebagainya dari setiap pekerjaan yang ada dalam tanggungannya, maka hal ini diperbolehkan, karena tidak ada unsur penghinaan.
Hal ini berdasarkan riwayat Ali Radhiallaahu anhu, ia berkata:

“Saya bekerja untuk seorang perempuan Yahudi dengan upah setiap timba air ditukar dengan sebutir kurma. Kemudian saya ceritakan hal itu kepada Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam dan aku bawakan beberapa butir kurma lalu beliau pun memakan sebagian kurma terse-but bersama saya.” (HR. Al-Bukhari)
Baca selengkapnya di sini

Tuesday, 12 April 2016

Kaca Diri: Syukur itu Mudah

Pernahkah kita serba merasa kekurangan materi?. Pernahkah kita selalu membanding-bandingkan materi yang kita raih dengan hasil materi orang lain dapatkan? Ada kalanya manusia mengalami hal-hal demikian. Tidak merasa cukup dengan hasil yang kita dapatkan. Bahkan ingin rasanya melebihi materi yang orang lain dapatkan. Kapan materi itu akan merasa cukup dirasanya?
Mari kita lihat zaman di mana manusia justru berlomba-lomba untuk mengurangi materi yang ada. Dirasanya materi yang didapatkannya itu hanyalah untuk kesenangan sementara. Sampai mereka pun dikenal dengan sifat kedermawanannya. Zaman itulah masa di mana Rasulullah صلى اللّٰه عليه وسلم dan sahabat masih ada. Mereka selalu berlomba dalam infaq, shadaqah, sampai membantu di jalan Allah. Contohnya ketika Abu Bakar رضي اللّٰه عنه melihat seorang hamba sahaya yang disiksa oleh majikannya karena sudah masuk Islam yaitu Bilal bin Rabah. Abu Bakar tidak tinggal diam. Langsung berani mengeluarkan tebusan berapapun yang diinginkan. Serta pengorbanan-pengorbanan sahabat yang lainnya demi Islam dan Muslimin.
Kecintaan kita terhadap Nabi Muhammad صلى اللّٰه عليه وسلم tak sebanding dengan pola hidup kita saat ini yang masih membudaya prilaku konsumtif dan materialistis. Bahkan kita tidak peka dengan orang-orang di sekitar kita yang lebih kurang dari kita. Sikap acuh tak acuh merajalela. Seakan hidup hanya sendiri-sendiri. Karena pikiran dan perasaan manusia yang masih merasa kurang itulah mengakibatkannya kufur. Tak pernah syukur.
Mari kita sama-sama bercermin diri. Sudahkah kita merasa cukup dan syukur dengan materi yang kita dapat? Yang notabene itu semua adalah pemberian Allah, Rizqumminallaah... Apa susahnya kita mengucapkan "alhamdulillah" selalu, always bersyukur kepada Allah Sang Maha pemberi rizki.
لئن شكرتم لأزيدنكم ولئن كفرتم إن عذابي لشديد

Wednesday, 6 April 2016

Kencing Sambil Berdiri, Bagaimana Menurut Islam?


Kencing Sambil Berdiri, Bagaimana Menurut Islam?

Luis Suarez seorang pesepak bola dari salah satu klub Liga Spanyol mengungkap kebiasaan saat sedang berada di toilet. Pemain asal Uruguay tersebut mengaku selalu buang air kecil sambil duduk demi menjaga kebersihan.
Diketahui kebanyakan pria sekarang biasa buang air kecil sambil berdiri. Tapi itu tidak dilakukan oleh Suarez.
Berbicara kepada televisi Uruguay, Suarez mengungkapkan kalau dia sangat higienis. Eks bintang Liverpool itu tidak mau air seninya berceceran, oleh sebab itu dia memilih buang air kecil sambil duduk.
"Saat buang air kecil saya adalah orang yang bersih. Ini demi menjaga tetap higienis karena saya memiliki dua buah hati," kata Suarez.
"Saya tidak mau asal buang air kecil. Jadi saya melakukannya sambil duduk atau jongkok. Anak-anak bermain ke mana saja dan saya tidak mau mereka sakit," sambungnya dikutip The Sun.
Padahal dia adalah seorang non Islam, tapi mengapa dengan tegasnya selalu memperhatikan kebersihan. Sementara kita umat Islam yang faham akan bab kebersihan baik itu dalam Al Quran maupun Hadits Nabi, masih banyak yang meremehkan hal tersebut.
Jadi bagaimana hukum kencing sambil berdiri ?
Tidak ada aturan dalam syari’at tentang mana yang lebih utama kencing sambil berdiri atau duduk, yang harus diperhatikan oleh orang yang buang hajat hanyalah bagaimana caranya agar dia tidak terkena cipratan kencingnya. Jadi tidak ada ketentuan syar’i, apakah berdiri atau duduk. Yang penting adalah seperti apa yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan.
اِسْتَنْزِهُوْا مِنَ الْبَوْلِ
“Lakukanlah tata cara yang bisa menghindarkan kalian dari terkena cipratan kencing”.
Dan kita belum mengetahui adakah shahabat yang meriwayatkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri (selain hadits Hudzaifah tadi, -pent-). Tapi ini bukan berarti bahwa beliau tidak pernah buang air kecil (sambil berdiri, -pent-) kecuali pada kejadian tersebut.