MODUL AL-ISLAM KELAS 12
Kelas/Semester : XII/ Semester 5
Materi Pokok/Tema : Indahnya
Membangun Mahligai Rumah Tangga
I. MATERI
A. Anjuran Menikah
Pernikahan adalah
sunnatullah yang berlaku umum bagi semua makhluk Nya. Al-Qur`ān
menyebutkan dalam Q.S. adz-zariyat /51:49.
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ
خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan
segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan
kebesaran Allah.“
Islam sangat
menganjurkan pernikahan, karena dengan pernikahan manusia akan berkembang,
sehingga kehidupan umat manusia dapat dilestarikan. Tanpa pernikahan regenerasi
akan terhenti, kehidupan manusia akan terputus, dunia pun akan sepi dan tidak
berarti, karena itu Allah Swt. Mensyariatkan pernikahan sebagaimana difirmankan
dalam Q.S. an-Nahl/16:72.
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ
لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ
أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
Artinya:
“
Allah menjadikan dari kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan
bagimu dan istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rezeki
dari yang baik-baik.
Maka mengapakah
mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah.”
Ayat
tersebut menguatkan rangsangan bagi orang yang merasa belum sanggup, agar tidak
khawatir karena belum cukup biaya, karena dengan pernikahan yang benar dan
ikhlas, Allah Swt. akan melapangkan rezeki yang baik dan halal untuk hidup
berumah tangga, sebagaimana dijanjikan Allah Swt. dalam firman-Nya:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ
مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا
فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah Swt. Akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. dan Allah Swt. Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (
Q.S. an-Nur/24:32).
Rasulullah
juga banyak menganjurkan kepada para remaja yang sudah mampu untuk segera
menikah agar kondisi jiwanya lebih sehat, seperti dalam hadis berikut.
“Wahai para pemuda! Siapa saja di antara
kalian yang sudah mampu maka menikahlah, karena pernikahan itu lebih
menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Jika belum mampu maka
berpuasalah, karena berpuasa dapat menjadi benteng (dari gejolak nafsu)”. (H.R.
Al-Bukhari dan Muslim).
B. Ketentuan Pernikahan dalam Islam
1. Pengertian Pernikahan
Secara bahasa, arti
“nikah” berarti “mengumpulkan, menggabungkan, atau menjodohkan”. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, ”nikah” diartikan sebagai “perjanjian antara laki-laki
dan perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi) atau “pernikahan”. Sedang
menurut syari’ah, “nikah” berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara
laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya yang menimbulkan hak dan kewajiban
masingmasing.
Dalam Undang-undang
Pernikahan RI (UUPRI) Nomor 1 Tahun 1974, definisi atau pengertian perkawinan
atau pernikahan ialah "ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pernikahan sama
artinya dengan perkawinan. Allah Swt. berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ
لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ
أَلَّا تَعُولُوا
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S.
an-Nisa/4:3).
2. Tujuan Pernikahan
Seseorang
yang akan menikah harus memiliki tujuan positif dan mulia untuk membina
keluarga sakinah dalam rumah tangga, di antaranya sebagai berikut.
a. Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi Rasulullah saw., bersabda:
Artinya:
“Dari
Abu Hurairah r.a, dari Nabi Muhammad saw., beliau bersabda:‟wanita dinikahi
karena empat hal: karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan karena
agamanya. Nikahilah wanita karena agamanya, kalau tidak kamu akan celaka"
(H.R. Al-Bukhari dan Muslim).
b. Allah Swt. berfirman:
Artinya:
”Dan
di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan
untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan
Dia
menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tandatanda (kebesaran Allah Swt.) bagi kaum yang
berpikir”. (Q.S. arRμm/30:21).
c. Untuk membentengi akhlak
Rasulullah saw. bersabda: “Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara
kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih
menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa
yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat
membentengi dirinya”. (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
d. Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah Swt.
Rasulullah saw. bersabda:
“Jika kalian
bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!”. Mendengar sabda
Rasulullah para sahabat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah,
seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat
pahala?” Nabi Muhammad saw. menjawab, “Bagaimana menurut kalian jika mereka
(para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa? “
Jawab para shahabat, ”Ya, benar”. Beliau bersabda lagi, “Begitu pula kalau
mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan
memperoleh pahala!”. (H.R. Muslim).
e. Untuk
mendapatkan keturunan yang salih Allah Swt.
berfirman:
“Allah
telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan
bagimu dari istri-istrimu itu anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki
yang baikbaik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari
nikmat Allah?”. (Q.S. an-Nahl/16:72).
f. Untuk menegakkan rumah tangga yang Islami
Dalam al-Qur'an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya talaq
(perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi mempertahankan keutuhan
rumah tangga. Firman Allah Swt.:
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ
فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ
تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا
حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ
وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Talaq
(yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma‟ruf
atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali
dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa
atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.
Itulah hokum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang
melanggar hukumhukum Allah mereka itulah orang-orang yang dzalim”. (Q.S.
al-Baqarah/2:229).
3. Hukum Pernikahan
Para ulama
menyebutkan bahwa nikah diperintahkan karena dapat mewujudkan maslahat,
memelihara diri, kehormatan, mendapatkan pahala dan lain-lain. Oleh karena itu,
apabila pernikahan justru membawa mudharat maka nikah pun dilarang. Karena itu
hukum asal melakukan pernikahan adalah mubah.
Para ahli fikih
sependapat bahwa hukum pernikahan tidak sama penerapannya kepada semua
mukallaf, melainkan disesuaikan dengan kondisi masing-masing, baik dilihat dari
kesiapan ekonomi, fisik, mental ataupun akhlak. Karena itu hukum nikah bisa
menjadi wajib, sunah, mubah, haram, dan makruh. Penjelasannya sebagai berikut.
a. Wajib yaitu bagi
orang yang telah mampu baik fisik, mental, ekonomi maupun akhlak untuk
melakukan pernikahan, mempunyai keinginan untuk menikah, dan jika tidak
menikah, maka dikhawatirkan akan jatuh pada perbuatan maksiat, maka wajib
baginya untuk menikah. Karena menjauhi zina baginya adalah wajib dan cara
menjauhi zina adalah dengan menikah.
b. Sunnah, yaitu bagi orang yang telah mempunyai keinginan untuk
menikah namun tidak dikhawatirkan dirinya akan jatuh kepada maksiat, sekiranya
tidak menikah. Dalam kondisi seperti ini seseorang boleh melakukan dan boleh
tidak melakukan pernikahan. Tapi melakukan pernikahan adalah lebih baik
daripada mengkhususkan diri untuk beribadah sebagai bentuk sikap taat kepada
Allah Swt..
c. Mubah bagi yang mampu dan aman dari fitnah, tetapi tidak
membutuhkannya atau tidak memiliki syahwat sama sekali seperti orang yang
impoten atau lanjut usia, atau yang tidak mampu menafkahi, sedangkan wanitanya
rela dengan syarat wanita tersebut harus rasyidah (berakal). Juga mubah bagi
yang mampu menikah dengan tujuan hanya sekedar untuk memenuhi hajatnya atau
bersenang-senang, tanpa ada niat ingin keturunan atau melindungi diri dari yang
haram.
d. Haram yaitu bagi orang yang yakin bahwa dirinya tidak akan
mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban pernikahan, baik kewajiban yang
berkaitan dengan hubungan seksual maupun berkaitan dengan kewajiban-kewajiban
lainnya. Pernikahan seperti ini mengandung bahaya bagi wanita yang akan
dijadikan istri. Sesuatu yang menimbulkan bahaya dilarang dalam Islam.
Tentang hal ini
Imam al-Qurtubi mengatakan, “Jika suami mengatakan bahwa dirinya tidak mampu
menafkahi istri atau memberi mahar , dan memenuhi hak-hak istri yang wajib,
atau mempunyai suatu penyakit yang menghalanginya untuk melakukan hubungan
seksual, maka dia tidak boleh menikahi wanita itu sampai dia menjelaskannya
kepada calon istrinya. Demikian juga wajib bagi calon istri menjelaskan kepada
calon suami jika
dirinya tidak mampu memberikan hak
atau mempunyai suatu penyakit yang menghalanginya untuk melakukan hubungan
seksual dengannya.
e. Makruh yaitu bagi seseorang yang mampu menikah tetapi dia
khawatir akan menyakiti wanita yang akan dinikahinya, atau menzalimi hak-hak
istri dan buruknya pergaulan yang dia miliki dalam memenuhi hak-hak manusia,
atau tidak minat terhadap wanita dan tidak mengharapkan keturunan.
4. Orang-orang yang Tidak Boleh Dinikahi
Al-Qur'an telah menjelaskan tentang orang-orang yang tidak boleh
(haram) dinikahi (Q.S. an-Nisā‟ /4:23-24).
Wanita yang haram dinikahi disebut juga mahram nikah. Mahram nikah sebenarnya
dapat dilihat dari pihak laki-laki dan dapat dilihat dari pihak wanita. Dalam
pembahasan secara umum biasanya yang dibicarakan ialah mahram nikah dari pihak
wanita, sebab pihak laki-laki yang biasanya mempunyai kemauan terlebih dahulu
untuk mencari jodoh dengan wanita pilihannya. Dilihat dari kondisinya mahram
terbagi kepada dua; pertama mahram muabbad (wanita diharamkan
untuk dinikahi selama-lamanya) seperti: keturunan, satu susuan, mertua
perempuan, anak tiri, jika ibunya sudah dicampuri, bekas menantu perempuan, dan
bekas ibu tiri. Kedua mahram gair muabbad adalah mahram sebab
menghimpun dua perempuan yang statusnya bersaudara, misalnya saudara
sepersusuan kakak dan adiknya.
Hal
ini boleh dinikahi tetapi setelah yang satu statusnya sudah bercerai atau mati.
Yang lain dengan sebab istri orang dan sebab iddah. Berdasarkan ayat tersebut, mahram dapat dibagi menjadi empat
kelompok:
5. Rukun dan Syarat Pernikahan
Para ahli fikih
berbeda pendapat dalam menentukan rukun dan syarat pernikahan. Perbedaan
tersebut adalah dalam menempatkan mana yang termasuk syarat dan mana yang
termasuk rukun. Jumhur ulama sebagaimana juga mażhab Syafi‟i mengemukakan bahwa
rukun nikah ada lima seperti
dibawah ini.
a. Calon suami,
syarat-syaratnya sebagai berikut:
1) Bukan mahram si
wanita, calon suami bukan termasuk yang haram dinikahi karena adanya hubungan
nasab atau sepersusuan.
2) Orang yang dikehendaki, yakni adanya keridaan dari masing-masing pihak. Dasarnya adalah hadis dari Abu
Hurairah r.a, yaitu:
Dan tidak boleh
seorang gadis dinikahkan sehingga ia diminta izinnya.” (¦R. al- Bukhari dan
Muslim).
3)
Mu‟ayyan (beridentitas jelas), harus ada kepastian siapa identitas
mempelai laki-laki
dengan menyebut nama atau
sifatnya yang khusus.
b. Calon istri,
syaratnya adalah:
1)
Bukan mahram si laki-laki.
2) Terbebas dari halangan nikah, misalnya, masih dalam masa iddah
atau berstatus sebagai istri orang.
c. Wali, yaitu bapak
kandung mempelai wanita, penerima wasiat atau kerabat terdekat, dan seterusnya
sesuai dengan urutan ashabah wanita tersebut, atau orang bijak dari keluarga
wanita, atau pemimpin setempat, Rasulullah saw. bersabda: “Tidak ada nikah, kecuali dengan wali.”
Umar bin Khattab ra. berkata, “Wanita tidak boleh dinikahi, kecuali atas
izin walinya, atau orang bijak dari keluarganya atau seorang pemimpin”.
Syarat wali adalah:
1)
orang yang dikehendaki,
bukan orang yang dibenci,
2)
laki-laki, bukan perempuan
atau banci,
3)
mahram si wanita,
4)
balig, bukan anak-anak,
5)
berakal, tidak gila,
6)
adil, tidak fasiq,
7)
tidak terhalang wali lain,
8)
tidak buta,
9)
tidak berbeda agama,
10) merdeka, bukan budak.
d. Dua orang saksi.
Firman Allah Swt.: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil di antara kalian”. (Q.S. at-Țalaq/65:2).
Syarat saksi adalah:
1)
Berjumlah dua orang, bukan
budak, bukan wanita, dan bukan orang fasik.
2)
Tidak boleh merangkap
sebagai saksi walaupun memenuhi kwalifikasi sebagai saksi.
3)
Sunnah dalam keadaan rela
dan tidak terpaksa.
e. Sigah (Ijab Kabul),
yaitu perkataan dari mempelai laki-laki atau wakilnya ketika akad nikah. Syarat
shighat adalah:
1)
Tidak tergantung dengan
syarat lain.
2)
Tidak terikat dengan waktu
tertentu.
3)
Boleh dengan bahasa asing.
4)
Dengan menggunakan kata “tazwij” atau “nikah”, tidak boleh dalam bentuk kinayah
(sindiran), karena kinayah membutuhkan niat sedang niat itu
sesuatu yang abstrak.
5)
Qabul harus dengan ucapan “Qabiltu
nikahaha/tazwijaha” dan boleh didahulukan
dari ijab.
6. Pernikahan yang Tidak Sah
Di
antara pernikahan yang tidak sah dan dilarang oleh Rasulullah saw. adalah
sebagai berikut.
a. Pernikahan Mut`ah,
yaitu pernikahan yang dibatasi untuk jangka waktu tertentu, baik sebentar
ataupun lama. Dasarnya adalah hadis berikut:
“Bahwa
Rasulullah saw. melarang pernikahan mut‟ah serta daging keledai kampung
(jinak) pada
saat Perang Khaibar. (H.R. Muslim).
b. Pernikahan syighar,
yaitu pernikahan dengan persyaratan barter tanpa pemberian mahar.
Dasarnya adalah hadis berikut:
“Sesungguhnya
Rasulullah saw. melarang nikah syighar. Adapun nikah syighar yaitu seorang
bapak menikahkan seseorang dengan putrinya dengan syarat bahwa seseorang itu
harus menikahkan dirinya dengan putrinya, tanpa mahar di antara keduanya.”
(H.R.
Muslim)
c. Pernikahan muhallil,
yaitu pernikahan seorang wanita yang telah ditalak tiga oleh suaminya yang
karenanya diharamkan untuk rujuk kepadanya, kemudian wanita itu dinikahi
laki-laki lain dengan tujuan untuk menghalalkan dinikahi lagi oleh mantan
suaminya. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Rasulullah
saw. melaknat muhallil dan muhallal lahu”. (H.R. at-Tirmiżi)
d. Pernikahan orang yang ihram, yaitu pernikahan orang yang sedang
melaksanakan ihram haji atau 'umrah serta belum memasuki waktu tahallul.
Rasulullah saw. bersabda:
“Orang yang
sedang melakukan ihram tidak boleh menikah dan menikahkan.” (H.R.
Muslim)
e. Pernikahan dalam masa iddah, yaitu pernikahan di mana seorang
laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah, baik
karena perceraian ataupun karena meninggal dunia. Allah Swt. berfirman:
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ
خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ ۚ عَلِمَ اللَّهُ
أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَٰكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلَّا أَنْ
تَقُولُوا قَوْلًا مَعْرُوفًا ۚ وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ
يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي
أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
“Dan janganlah
kamu ber‟azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
„iddahnya”.
( Q.S. al-Baqarah/2:235)
f. Pernikahan tanpa wali, yaitu pernikahan yang dilakukan seorang
laki-laki dengan seorang wanita tanpa seizin walinya. Rasulullah saw. bersabda:
“Tidak ada nikah kecuali dengan
wali.”
g. Pernikahan dengan wanita kafir selain wanita-wanita ahli kitab,
berdasarkan firman Allah Swt.:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ
حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ
أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ
يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ
بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya
wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. (Q.S. al-Baqarah/2:221)
h. Menikahi mahram, baik mahram untuk selamanya, mahram karena
pernikahan atau karena sepersusuan.
C. Pernikahan Menurut UU Perkawinan Indonesia (UU No.1 Tahun 1974)
Di dalam negara RI, segala
sesuatu yang bersangkut paut dengan penduduk, harus mendapat legalitas
pemerintah dan tercatat secara resmi, seperti halnya kelahiran, kematian, dan
perkawinan. Dalam rangka tertib hukum dan tertib administrasi, maka tatacara
pelaksanaan pernikahan harus mengikuti prosedur sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Thn 1974.
Adapun pencatatan
Pernikahan sebagaimana termaktub dalam BAB II pasal 2 adalah dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang berada di wilayah masing-masing. Karena itu
Pegawai Pencatat Nikah mempunyai kedudukan yang amat penting dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia yaitu diatur dalam Undang-undang No. 32 tahun
1954, bahkan sampai sekarang PPN adalah satu-satunya pejabat yang berwenang
untuk mencatat perkawinan yang dilakukan berdasarkan hukum Islam di wilayahnya.
Artinya, siapapun yang ingin melangsungkan perkawinan berdasarkan hukum Islam,
berada di bawah pengawasan PPN.
D. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Dengan berlangsungnya
akad pernikahan, maka memberi konsekuensi adanya hak dan kewajiban suami istri,
yang mencakup 3 hal, yaitu: kewajiban bersama timbal balik antara suami dan
istri, kewajiban suami terhadap istri dan kewajiban istri terhadap suami.
1. Kewajiban timbal balik antara suami dan
istri, yaitu sebagai berikut.
a. Saling menikmati hubungan fisik antara suami istri, termasuk
hubungan seksual di antara mereka.
b. Timbulnya hubungan mahram di antara mereka berdua, sehingga
istri diharamkan menikah dengan ayah suami dan seterusnya hingga garis ke atas,
juga dengan anak dari suami dan seterusnya hingga garis ke bawah, walaupun
setelah mereka bercerai.
Demikian sebaliknya berlaku pula
bagi suami.
c.
Berlakunya hukum pewarisan
antara keduanya.
d. Dihubungkannya nasab anak mereka dengan suami (dengan syarat
kelahiran paling sedikit 6 bulan sejak berlangsungnya akad nikah dan dukhul/berhubungan suami
isteri).
e. Berlangsungnya hubungan baik antara keduanya dengan berusaha
melakukan pergaulan secara bijaksana, rukun, damai dan harmonis;
f. Menjaga penampilan lahiriah dalam rangka merawat keutuhan cinta
dan kasih sayang di antara keduanya.
2. Kewajiban suami terhadap istri
a. Mahar. Memberikan
mahar adalah wajib hukumnya, maka mażhab Maliki memasukkan mahar ke dalam rukun
nikah, sementara para fuqaha lain memasukkan mahar ke dalam syarat sahnya
nikah, dengan alasan bahwa pembayaran mahar boleh ditangguhkan.
b. Nafkah, yaitu
pemberian nafkah untuk istri demi memenuhi keperluan berupa makanan, pakaian,
perumahan (termasuk perabotnya), pembantu rumah tangga dan sebagainya, sesuai
dengan kebutuhan dan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat sekitar pada
umumnya.
c. Memimpin rumah tangga.
d. Membimbing dan mendidik.
3. Kewajiban Istri terhadap Suami
a. Taat kepada suami.
Istri yang setia kepada suaminya
berarti telah mengimbangi kewajiban suaminya kepadanya. Ketaatan istri kepada
suami hanya dalam hal kebaikan. Jika suami meminta istri untuk melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan syariat Allah Swt., maka istri harus
menolaknya. Tidak ada ketaatan kepada manusia dalam kemaksiatan kepada Allah
Swt..
b. Menjaga diri dan kehormatan keluarga.
Menjaga kehormatan diri dan rumah
tangga, adalah mereka yang taat kepada Allah Swt. dan suami, dan memelihara
kehormatan diri mereka bilamana suami tidak ada di rumah. Istri wajib menjaga
harta dan kehormatan suami, karenanya istri tidak boleh keluar rumah tanpa
seizin suami.
c. Merawat dan mendidik anak.
Walaupun hak dan kewajiban merawat
dan mendidik anak itu merupakan hak dan kewajiban suami, tetapi istripun
mempunyai hak dan kewajiban merawat dan mendidik anak secara bersama.
Terlebih istri itu pada umumnya
lebih dekat dengan anak, karena dia lebih banyak tinggal di rumah bersama
anaknya. Maju mundurnya pendidikan yang diperoleh anak banyak ditentukan oleh
perhatian ibu terhadap para putranya.
II. KESIMPULAN
1. Nikah berarti akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki
dan perempuan yang bukan mahramnya yang menimbulkan hak dan kewajiban
masing-masing.
Sedangkan menurut Undang-undang
Pernikahan RI (UUPRI) Nomor 1 Tahun 1974 adalah: “Perkawinan atau nikah ialah
ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang berbahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”
2. Para ahli fikih sependapat bahwa hukum pernikahan tidak sama di
antara orang mukallaf. Dilihat dari kesiapan ekonomi, fisik, mental ataupun
akhlak, hukum nikah bisa menjadi wajib, sunah, mubah, haram, dan makruh.
3. Al-Qurān telah menjelaskan tentang orang-orang yang tidak boleh
(haram) dinikahi
(Q.S. an-Nisā‟ /4:23-24). Wanita yang
haram dinikahi disebut juga mahram nikah.
4. Jumhur ulama sebagaimana juga mażhab Syafi’iy mengemukakan bahwa
rukun
nikah ada lima,
yaitu: calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi, dan sigat (Ijab Kabul).
5. Di antara pernikahan yang tidak sah dan dilarang oleh Rasulullah
saw. adalah pernikahan mut`ah,
pernikahan syigar, pernikahan muhallil, pernikahan orang yang ihram,
pernikahan dalam masa iddah, pernikahan tanpa wali, dan pernikahan dengan
wanita kafir selain wanita-wanita ahli kitab, menikahi mahram.
6. Pernikahan melahirkan kewajiban atas masing-masing pihak, suami
dan istri. Kewajiban tersebut meliputi:
a. kewajiban timbal balik antara suami dan istri, seperti hubungan
seksual di antara mereka;
b. kewajiban suami terhadap istri, seperti mahar dan nafkah;
c. kewajiban Istri terhadap suami, seperti taat kepada suami.