Karakteristik
Islam Berkemajuan
Dalam menjalankan misi untuk
mencapai cita-cita kejayaan Islam yang membawa kemaslahatan umat manusia,
Muhammadiyah merumuskan beberapa ciri Islam Berkemajuan (al-Islam
al-Taqaddumi). Karena Islam adalah agama yang menjadi kekuatan pendorong bagi
kemajuan manusia, Muhammadiyah mengembangkan cara pandang yang berkemajuan atas
Islam yang dirumuskan dalam Karakteristik Lima (al-Khasha’ishu al-Khamsu),
yakni:
a. Berlandaskan pada Tauhid (al-Mabni ‘ala al-Tauhid). Tauhid
adalah inti dari risalah yang dibawaoleh nabi-nabi dan titik sentral kehidupan
umat, yang tidak hanya terdapat dalam keyakinan saja, melainkan juga dalam
perbuatan nyata. Tauhid sesungguhnya merupakan keyakinan bahwa Allah adalah
Tuhan yang Esa, yang menciptakan dan memelihara alam semesta, dan bahwa hanya
Allah yang patut disembah. Tauhid yang murni memiliki makna pembebasanmanusia
dari paham kemusyrikan, percampuran dan kenisbian agama. Tauhid juga merupakan
keyakinan bahwa semua manusia pada hakikatnya adalah satu makhluk yang mulia,
dan karena itu harus dimuliakan dan dicerahkan. Tauhid yang murni memiliki
makna pembebasan manusia dari belenggu ketidakadilan dan penghisapan
antarmanusia. Bertauhid berarti berjuang untuk menyemaikan benih- benih
kebenaran dan kebaikan, seperti perdamaian, keadilan, kemaslahatan, dan
kesejahteraan. Selain itu, tauhid akan membawa kepada sikap kritis saat melihat
ketimpangan, ketidakwajaran dan ketidakadilan dalam masyarakat, sebuah
perwujudan dari kemurnian akidah. Tauhid yang murni menghadirkan ketulusan, dan
membuang jauh-jauh kesombongan dan penggunaan segala cara untuk mengejar
kekuasaan dan kekayaan yang hanya berjangka pendek dalam topeng kesalehan.
b. Bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah (al-Ruju’ ila al-Qur’an
wa al-Sunnah). Al-Qur’an adalah sumber utama untuk memahami dan mengamalkan
Islam. Al-Qur’an menjadi sumber keyakinan, pengetahuan, hukum, norma, moral dan
inspirasisepanjang zaman. Sunnah Rasul adalah sumber kedua setelah al-Qur’an,
yang menggambarkan diri Nabi Muhammad SAW sebagai teladan yang harus dicontoh.
Kehidupan Nabi Muhammad SAW merupakan contoh jelas dari isi al-Qur’an dalam
kehidupan nyata. Dalam memahami dua sumber tersebut, diperlukan pemahaman
terhadap teks- teks, pemikiran yang maju, dan ilmu pengetahuan yang luas.
Semakin tinggi akal dan luas ilmu pengetahuan yang digunakan, akan semakin kaya
makna yang dapat diambil dari dua sumber tersebut. Islam yang bersumber padaal-
Qur’an dan al-Sunnah merupakan agama yang mengajarkan kebenaran (al-haqq) dan
juga kebajikan (al-birr) sehingga setiap persoalan perlu dilihat dari sudut
benar atau salah, danjuga dari sisi baik atau buruk.
c. Menghidupkan Ijtihad dan Tajdid (Ihya’ al- Ijtihad wa
al-Tajdid). Ijtihad (mengerahkan pikiran) merupakan upaya yang sungguh-sungguh
untuk memahami atau memaknai alQur’an dan al-Sunnah. Ijtihad dihidupkan melalui
pemanfaatan akal dan ilmu pengetahuan yang dilakukan secara terusmenerus agar
melahirkan pemahaman yang sesuai dengan tujuan agama dan dengan problem-problem
yang dihadapi oleh umat manusia. Ijtihad tidak berhenti pada tataran pemikiran
bagaimana memahami agama tetapi juga berlanjut pada bagaimana mewujudkan ajaran
agama dalam semua lapangan kehidupan, baik individu, masyarakat, umat, bangsa
maupun kemanusiaan universal. Ijtihad merupakan bagian yang sangat penting
dalam pelaksanaan tajdid, yang bermakna pembaharuan baik dalam bentuk pemurnian
maupun dinamisasi dalam pemahaman dan pengamalan agama. Pemurnian diterapkan
pada bidang akidah dan ibadah, sementara dinamisasi (dalam makna peningkatan,
pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya) diterapkan pada bidang
akhlak dan muamalah dunyawiyah. Tajdid diperlukan karena pemahaman agama selalu
menghadapi tantangan zaman dan situasi masyarakat yang terus berubah. Tajdid
adalah upaya dalam mewujudkan cita-cita kemajuan dalam semua segi kehidupan,
seperti pemikiran, politik,ekonomi,sosial, pendidikan dankebudayaan.
d. Mengembangkan Wasathiyah (Tanmiyat al-Wasathiyah). Al-Qur’an
menyatakan bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan (umat tengahan), yang
mengandung makna unggul dan tegak. Islam itu sendiri sesungguhnya adalah agama
wasathiyah (tengahan), yang menolak ekstremisme dalam beragama baik dalam
bentuk sikap berlebihan (ghuluww) maupun sikap pengabaian (tafrith). Wasathiyah
juga bermakna posisi tengah di antara dua kutub, yakni ultra-konservatisme dan
ultra- liberalisme dalam beragama. Selaras dengan itu, wasathiyah menuntut
sikap seimbang (tawazun) antara kehidupan individu dan masyarakat, lahir dan
batin, serta duniawi dan ukhrawi. Wasathiyah tidak mengarah pada toleransi
terhadap sekularisme politik dan permisivisme moral. Karena Islam adalah agama
wasathiyah, maka ia harus menjadi ciri yang menonjol dalam berpikir dan
bersikap umat Islam. Wasathiyah diwujudkan dalam sikap sosial (1) tegas dalam
pendirian, luas dalam wawasan, dan luwes dalam sikap; (2) menghargai perbedaan
pandangan atau pendapat; (3) menolak pengkafiran terhadap sesama muslim; (4)
memajukan dan menggembirakan masyarakat; (5) memahami realitas dan prioritas;
(6) menghindari fanatisme berlebihan terhadap kelompok atau paham keagamaan
tertentu; dan (7) memudahkan pelaksanaan ajaran agama.
e. Mewujudkan Rahmat bagi Seluruh Alam (Tahqiq al-Rahmah li
al-‘Alamin). Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Karena itu, setiap muslim
berkewajiban untuk mewujudkan kerahmatan itu dalam kehidupan nyata. Di
tengah-tengah maraknya pertentangan dan permusuhan di dunia ini, Islam harus
dihadirkan sebagai pendorong bagi terciptanya perdamaian dan kerukunan, dan di
tengah-tengah situasi ketidakadilan, maka ia harus ditampilkan sebagai agama
yang mewujudkan keadilan dan menghilangkan kezaliman. Islam harus dihadirkan
sebagai kekuatan yang membawa kesejahteraan, pencerahan, dan kemajuan
universal. Misi kerahmatan itu bukan saja penting bagi kemaslahatan umat
manusia, tetapi juga bagi kemaslahatan seluruh makhluk ciptaan Allah di muka
bumi ini, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, lingkungan dan sumber daya alam.
No comments:
Post a Comment