Manajemen marah dan sabar
Marah dan sabar selalu menjadi kontradiksi
sikap manusia.
Marah adalah tabiat manusia.
Allah menciptakan marah karena untuk
keperluan manfaat yang besar. Yaitu melindungi diri manusia dari sesuatu yang
akan memberinya madharat kepada dirinya.
Marah merupakan ungkapan tentang mendidihnya
darah dalam hati seseorang.
Marah dalam syariat kita tidak diberikan
celaan secara mutlak tetapi juga tidak diperintahkan, bahkan yang ada adalah
larangan-larangan agar kita marah.
Di antara hadits yang menyebutkan akan
larangan marah, Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda yang ketika itu ada seorang lelaki meminta wasiat
kepada beliau: يا رسولَ الله أوصني (wahai Rasulullah
berikan aku wasiat) kata Rasulullah لا تغضب ( jangan kamu marah),
jangan kamu marah dan ia terus mengulangi lagi, ia berkata lagi jangan marah,
jangan marah.
Akan tetapi
Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah marah, marahnya karena Allah. Bukan
karena hawa nafsu .
Oleh karena itu
para ulama mengatakan: bahwa marah itu ada 2 macam, ada marah yang terpuji dan
ada marah yang tercela.
Adapun marah yang
tercela yaitu seseorang marah bukan karena Allah, karena membela kepentingannya,
karena dunia, karena fanatik kelompok, maka ini adalah marah-marah yang dibenci
oleh Allah سبحانه وتعالى .
Oleh karena itulah, ketika seseorang marah
karena dirinya, marah karena membela dirinya, maka itu adalah marah yang
tercela.
Dan ini yang
dikatakan Aisyah رضي الله عنها bahwa Rasul صلى الله عليه وسلم tidak pernah marah untuk
dirinya. Akan tetapi apa bila larangan-larangan Allah dilanggar, maka beliaupun
marah.
Marah karena dunia
kenapa tercela? Karena hal seperti itu hanya akan menimbulkan mudharat kepada
dirinya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: من كف غضبه ستر الله عوراته (Barang siapa yang
menahan marahnya maka allah akan menutupi auratnya) kenapa demikian? Karena
sesorang apabila marah sering kali tidak terkontrol lalu mengucapkan kata-kata
yang tidak layak karena emosinya. Dia melakukan perbuatan yang tidak layak bagi
orang yang berakal, bagi orang yang punya kewibawaan sehingga itu bisa
menjatuhkan harkatnya, menjatuhkan martabatnya. Maka Rasulullah bersabda ... ...ومن كظم غيظا وهو قادر على أن ينفد إن شاء الله فملآ الله
قلبه رضا يوم القيامة (dan siapa yang menahan
amarahnya di mana ia mampu untuk melaksanakan amarahnya tersebut maka Allah
akan penuhi hatinya dengan keridhaan kelak pada hari kiamat).
Maka dari itu
seseorang penting untuk memanaje kemarahannya. Jangan sampai kemarahan itu
menimbulkan penyesalan di dalam hatinya kelak. Ada seorang suami marah,
akhirnya dia mencerai istrinya. Ada seseorang marah akhirnya membanting piring
dan yang lainnya. Ada seseorang marah akhirnya tidak sadarkan diri, akhirnya
melakukan hal-hal yang merugikan dirinya. Maka dari itulah Islam memerintahkan
kita untuk menahan amarah, karena kemarahan tidak ada kebaikannya ketika marah
itu adalah sesuatu yang bukan karena Allah tetapi karena dunia.
Adapun yang kedua,
yaitu marah karena Allah. Marah karena Allah sesuatu yang baik, tapi ingat
caranya pun harus sesuai dengan syariat. Apa itu marah karena Allah? Seseorang
marah karena larangan-larangan Allah dilanggar. Seseorang marah karena
batasan-batasan Allah tidak dihormati. Maka yang seperti ini ikhwatul islam
a’azzaniyallah kemarahan yang baik. Sebagaimana Rasul صلى الله عليه وسلم pernah suatu hari
dilaporkan kepada Rasulullah: seorang laki-laki yang berkata " يا رسولَ الله إني لآتأخّرمن الفجر مما يطيل بنا الفلان ( Ya Rasulullah
sesungguhnya aku terlambat dari shalat shubuh karena imamnya terlalu panjang
membaca ) maka Ibnu Umar berkata “aku tidak pernah melihat Rasulullah صلى الله عليه وسلم sangat marah kecuali pada
hari itu. Rasul bersabda "إن منكم منفّرين" (sesungguhnya di antara kalian ada yang
membuat orang lari). Subhaanallaah, Rasulullah marah. Kenapa? Karena ini
berbahaya. Ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم melewati suatu kaum yang
menggantungkan pedangnya di sebuah pohon yang menjadi tempat kalap berkah lalu
ada orang berkata “wahai Rasulullah jadikan untuk kami tempat dzatu anwar
sebagaimana mereka punya tempat dzatu anwar” maka Rasulullah marah dan berkata
“ الله أكبر إنها سنني” ( Allahu akbar, ini adalah sunah) kalian
telah mengucapkan apa yang telah diucapkan oleh Bani Israil kepada Musa.
Subhaanallaah ya akhowatil islam.
Tapi terkadang
seseorang niat marahnya karena Allah,
namun tata caranya akhirnya malah mengundang kemurkaan dari Allah. Sebagaimana
disebutkandalam riwayat Imam Ahmad:
bahwa kata Rasulullah dahulu ada dua orang yang berteman, yang satu shalih dan
yang satu suka berbuat maksiat. Satu hari temannya melihat orang yang berbuat
maksiat maka ia memberikan nasihat kepadanya. Kemudian keesokan harinya kembali
temannya menemunkan temannya berbuat maksiat, ia pun memberikan nasihat.
Kemudian apa yang terjadi, ketiga kalinya, dia melihat temannya berbuat maksiat
makanya ia pun memberikan nasihat kemudian dia marah, marah sekali. Apa kata
dia? "واللهِ, لايغفر الله لك" (demi Allah, Allah tidak akan mengampuni dosa
kamu). Sampai begitu marahnya. Maka apa kata Rasulullah صلى الله عليه وسلم “Allah pun murka dan Allah berfirman:من ذاالذي يتعلّى
عليّ عني لا أغفر لكم اشهدوا وأحبط عمل فلان (siapa yang berani bersumpah atas namaKu bahwa
Aku tidak akan mengampuni dosa si fulan? Saksikan wahai para malaikat bahwa aku
telah mengampuni dosa orang yang berbuat maksiat tadi dan aku telah membatalkan
amalan orang shalih tadi). Lihat orang shalih ini marahnya karena Allah, tapi
sayang caranya malah mendatangkan kemurkaan Allah. Ketika kita melihat
kemunkaran kita marah, tapi terkadang kita malah membuat orang lain semakin
lari, atau membantu syaithan untuk menyesatkan manusia lebih jauh lagi. Maka ya
akhal Islam a’azzaniyallahu wa iyyakum, di sini kita penting untuk memanaje
kemarahan kita. Jangan sampai kemarahan itu walaupun karena Allah tapi ternyata
malah mendatangkan kemurkaan dari Allah subhanahu wata’ala. Apa lagi
marah-marah yang tercela karena dunia, karena membela diri, jelas ini sesuatu
yang tercela sekali. Karena dirinya diejek, karena organisasi atau partainya
direndahkan, dihina. Ini sesuatu yang tidak disukai dalam syariat Islam. Maka
kata Rasulullah لا تغضب (jangan marah), kata Rasulullah: "ليس الشديد بالصرعة إنما الشديد الذي يملك نفسه عند
الغضب" (Bukanlah orang yang
kuat itu adalah orang yang bias mengalahkan orang lain, tetapi orang yang bias
menahan nafsunya ketika marah). Semoga kita termasuk diberikanoleh Allah
kekuatan untuk menahan amarah kita sehingga kita termasuk orang-orang yang
diridhai oleh Allah سبجانه وتعلى bahkan dipenuhi
keridhaan hati kita kelak di yaumil akhir.
Kata orang,
kesabaran itu ada batasnya. Apa benar kesabaran itu ada batasnya? Tentu ini
menjadi sebuah tanda tanya besar. Allah subhaanahu wata’ala dalam alQuran
memerintahkan kita untuk sabar. Dalam
ayat-ayat, di antaranya Allah berfirman:
يا أيها الذين آمنوا
اصبروا وصابروا ورابطوا “Hai orang-orang yang beriman bersabarlah dan berusahalah terus
untuk bersabar dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. Tidak ada dalam
alQuran maupun hadis Nabi صلى الله عليه وسلم bahwa Allah memberikan batasan bahwa sabar itu ada batasnya.
Seringkali kita mendengar ada orang berkata “sampai kapan kita bersabar?”.
Bahkan mungkin ada orang berkata kesabaran saya sudah habis dan lain-lain.
Subhaanallah akhal Islam a’azzakumullaah, ketika Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengabarkan tentang adanya pemimpin-pemimpin yang mereka itu
tidak berhukum dengan hokum Allah. Mereka lebih mementingkan dirinya dari pada
rakyatnya. Beliau bersabda: إنها ستكون العثرة (sesungguhnya akan ada
pemimpin-pemimpin yang lebih mementingkan dirinya dari pada rakyatnya). Dan Rasulullah
صلى الله عليه وسلم
bersabda, apa kata Rasulullah? "اصبروا حتى تلقوني على الحوض"
(bersabarlah kamu!), sampai kapan? (sampai kamu bertemu denganku di telaga
haudl).
Di sini Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyuruh kita untuk bersabar. Sampai kapan? Apakah Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengatakan sabar itu ada batasnya? Tidak. Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengatakan bersabarlah sampai kamu bertemu denganku di telaga
haudl. Berarti sabar itu ya akhal Islam, sampai akhir hayat.
Kita manusia hidup
di dunia tak lepas dari yang namanya ujian dan cobaan. Setiap manusia diberikan
oleh Allah subhanahu wata’ala ujian dengan berbagai macam ragam-ragamnya. Ada
orang yang diberikan Allah dengan ujian penderitaan, kesengsaraan. Ada orang
yang diberikan Allah dengan ujian kekayaan. Masing-masing diuji kesabarannya.
Orang yang menderita sakit, diuji kesabaran untuk menghadapi sakit. Begitupun
orang yang menderita kesusahan, kesulitan dan kekurangan harta. Orang yang
diberikan oleh Allah kekayaan, kesenangan diuji oleh Allah kesabarannya untuk
menghadapi syahwat dia. Karena semakin senang, semakin banyak fasilitas,
seseorang terkadang lebih mengikuti syahwatnya. Manusia diuji selama hidup dia
dalam kehidupan dia. Dengan apa? Dengan perintah, dengan larangan. Allah
memerintahkan kita shalat, zakat, puasa, haji. Allah melarang kita juga
berzina, judi dan berbagai macam larangan. Sampai kapan? Jawabannya satu,
sampai akhir hayat. Sampai kita mati. Bolehkah kita berkata “sampai kapan saya
bersabar untuk melaksanakan shalat?” selama kita beriman kepada Allah, kita
butuh kesabaran. Ali bin Abi Thalib berkata "الصبر
في الإيمان بمنزلة الرأس في البدن"
(kesabaran dengan keimanan itu sama dengan kepala untuk badan). Sebagaimana
badan tidak akan hidup tanpa kepala. Demikian pula iman tak akan pernah hidup
tanpa kesabaran.
artikelnya mencerahkan, Ustadz!
ReplyDeleteaamiin...semoga bermanfaat
ReplyDelete